Loading

Selamat Jalan Tides, Mentor dan Sahabat Sejatiku01 October 2019


Oleh: Mari Elka Pangestu, dalam Harian Kompas (kompas.id), 30 September 2019


Minggu 29 September tengah hari, sahabat sejati dan mentor saya Aristides Katoppo – akrab dipanggil Tides – berpulang untuk selama-lamanya. Beliau berpergi tanpa menderita lama-lama sesuai kehendaknya.

Tides baru saja kembali dari Semeru untuk mengenang Soe Hok Gie sahabatnya yang meninggal di Gunung Semeru 50 tahun yang lalu. Walaupun tidak mendaki lagi, beliau menyatu dengan alam yang dia cintai bersama dengan sahabat-sahabat aktivisnya. Ini adalah kegiatan yang membuat hidupnya bermakna dan menjadi penutup hidupnya yang sangat membahagiakan, kenang putranya Yura.

Walaupun Tides sudah meninggalkan kita untuk selama-lamanya, kenangan, hasil karya, dan sentuhan beliau dapat ditemukan dimana-mana – pemikiran-pemikirannya seputar isu lingkungan dan isu krusial bangsa kita; media yang didirikannya yang menyuarakan suara rakyat dan ibu pertiwi; lembaga dan yayasan yang dia bantu lahirkan, besarkan dan bina.



Pendiri surat kabar Kompas, Jakob Oetama (kanan) bersama pendiri surat kabar Sinar Harapan Aristides Katoppo (tengah) tengah berbincang dengan John Prestridge, petugas publikasi  dari British Aircraft Corporation, saat menjelaskan detil dari produksi pesawat supersonic Concorde. Foto diambil pada 1 September 1972. (Sumber:DOKUMEN PUSAT INFORMASI KOMPAS)


Semuanya ini, Tides lakukan dengan penuh kasih sayang yang tulus karena dia adalah motivator, mediator dan fasilitator yang terbaik yang saya pernah kenal. Beliau juga teguh dengan pendirian, berjiwa besar, sederhana dan selalu dapat memberi semangat dan nasehat, saat saya galau atau merasa frustrasi dengan keadaan. Saya sangat berterimakasih kepada Tides, karena saat saya menjabat menteri di pemerintahan, beliau dapat “membumikan” saya untuk memahami realita lapangan dan rakyat sehingga saya lebih jelas dan yakin dalam menjalankan tugas saya dengan lebih baik dan efektif.

Siapa di dunia jurnalistik yang tidak kenal dengan Tides, karena beliau adalah salah satu generasi wartawan kawakan yang patut menjadi panutan. Beliau memulai kariernya sebagai jurnalis sejak akhir 1957. Ciri khas Tides adalah perjuangannya untuk kebebasan pers, kebebasan berpikir dan memberitakan kebenaran.

Hal itu tercermin dalam berbagai perjuangannya sebagai wartawan, sebagai pendiri dari Sinar Harapan yang pernah di bredel di era Orde Baru dan hidup kembali setelah reformasi di tahun 2001, dan sebagai salah satu pendiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Walaupun Sinar Harapan akhirnya harus berhenti terbit pada 2016, Tides tidak pernah berhenti mendorong pentingnya jurnalisme yang “benar” dan bagi saya serta banyak teman lain yang berinteraksi dengan beliau, kami merasakan betul  “kaliber” jurnalistik Tides. Dalam suatu wawancara beliau mengatakan yang masalah bukan the death of the newspaper, but the death of journalism dan kita perlu kembalikan jurnalis dengan karakteristik 4N – nalar, naluri, dan nurani serta nyali untuk mengungkapkan kebenaran.

Semua yang kenal dan bersentuhan dengan Tides, pasti merasakan kepedulian beliau terhadap budaya dan lingkungan. Jauh sebelum orang ramai bicarakan masalah lingkungan, dia sudah berkoar mengenai pentingnya menjaga lingkungan yang memberi kehidupan bagi kita.

Tides menuangkan kepedulian tersebut dengan berbagai cara, antara lain melalui tulisan di media dan mengunakan Sinar Harapan sebagai corong; memengaruhi pemikiran berbagai pihak melalui persuasi dan juga berbasis fakta dan data; dan memberi semangat dan membina WALHI di bidang pelestarian linkungan hidup, Yayasan Sejati yang bergerak untuk pemberdayaan dan merekam kearifan lokal dari masyarakat adat, dan sejumlah aktivis lingkungan juga “dibesarkan” oleh Tides.

Saya pertama kali banyak berinteraksi dengan beliau dalam kegiatan di Yayasan Sejati. Beliau selalu bisa memberi nasehat dan penengah dalam berbagai dilema dan konflik yang kita hadapi pada waktu itu, antara lain konflik antara penguasa dan masyarakat adat. Salah satu nasehat yang melekat bagi saya adalah untuk mengunakan pendekatan tidak duduk berhadapan saat menghadapi musuh, tetapi bersebelahan karena kita baru bisa memecahkan persoalan jika memulai dari kesetaraan.

"Dalam suatu wawancara Tides mengatakan yang masalah bukan the death of the newspaper, but the death of journalism. Kita perlu kembalikan jurnalis dengan karakteristik 4N – nalar, naluri, dan nurani serta nyali untuk mengungkapkan kebenaran."


Beliau juga sangat peduli mengenai kebangsaan, keutuhan bangsa Indonesia dan Pancasila. Tides bersama-sama Cherie Nursalim dan beberapa tokoh lain adalah pendiri Yayasan Upaya Indonesia Damai (UID), yang dibentuk pada tahun 2003, setelah krisis Indonesia 1998 dan bom Bali, untuk merajut Bangsa Indonesia kembali. Visi utama yayasan tersebut adalah membangun kembali “trust” atau rasa saling percaya antara kita, agar bisa bergotog-royong menghadapi tantangan bersama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

UID melakukan berbagai program pelatihan kepemimpinan dengan pendekatan mendengar secara seksama, membuka pikiran dan hati untuk perbedaan, dan memecahkan dan menyelesaikan permasalahan bersama secara “gotong royong”.


Suasana Rumah Duka Jenazah Rumas Sakit Pusat Angkatan Darat ramai dikunjungi pelayat sebagai penghormatan kepada sosok Aristides Katoppo, Minggu (29/9/2019). (Sumber: KOMPAS/AGUIDO ADRI).

Saat ini, Tides adalah Dewan Penasehat tertinggi UID dimana saya menjabat sebagai presiden. Kami banyak interaksi dan saya kagum dengan semangat dan optimismenya yang tidak pernah pudar. Beliau selalu hadir untuk memberi pencerahan dalam program-program UID, baik program tri sektor IDEAS antara pemerintah, swasta dan civil society, program untuk anak muda, dan program di level pemerintah dan DPR.

Baru-baru ini UID diberi kesempatan bekerja bersama-sama dengan Lemhannas memberikan pendidikan pemantapan nilai-nilai kebangsaan bagi anggota DPR 2019-2024, dan Tides sempat hadir mengamati dan merasakan langsung kegiatan ini.. Pesan beliau kepada Dewi dan Kang Yoto, koordinator program dari UID, sangatlah bermakna. Beliau berbahagia karena UID telah melakukan kerja nyata gotong-royong bersama Lemhannas.

Ketika Tides ditanya makna gotong royong, beliau menjawab “saya beruntung mendengar langsung dari Bung Karno, bahwa gotong royong berakar di bumi Indonesia. Beliau mengatakan, menurut Bung Karno, jika Pancasila diperas intinya jadi satu, maka gotong royonglah sejatinya. Marilah kita menghidupkan kembali dalam hidup modern yang gersang, semangat, apalagi perilaku memahami, menghayati, dan mengamalkan api gotong royong. Itulah mengapa UID dilahirkan dan saya doakan terus mekar dengan semangat gotong royong, menghalau gusar, gelisah, galau, dan gamang yang menggersangkan nurani sekarang ini.”

Selamat jalan sahabatku yang begitu baik, besar hati, murah senyum, yang selalu punya waktu untuk siapa pun (dari Presiden hingga anak muda yang lagi galau), begitu bijak, dan memberi sentuhan positif bagi semua. Kami semua kehilangan namun saya dan kita semua yang telah kau sentuh, akan berupaya untuk melanjutkan perjalanan yang telah kau sinari buat kami dengan sepenuh hati – seperti engkau pun menjalankan semua hal dalam hidupmu.




Sumber: www.kompas.id